Pages

Bunda, Aku Baik Di Sini

Bunda, Aku Baik Di Sini
Oleh: Laily Askina Rahmawati 

”Taza! Semangat! Kamu masih punya waktu delapan jam untuk menyelesaikan tugas-tugas ini!” kataku menyemangati. Karena terlalu semangat, suaraku yang cukup keras, mampu memecah suasana hening di malam itu. Bahkan, Gladys, teman satu kamarku, terbangun dari tidurnya.

”Taza, kamu belum tidur to?”

Eh, Gladys, kok bangun?”

”Bagaimana tidak, kamu bicara terlalu keras. Bisa-bisa Ibu kos juga ikut terbangun gara-gara mendengar suaramu itu!”

”Hehe... maaf! Aku terlalu bersemangat mengerjakan tugas presentasi untuk besok.”

Hah! Sudah hampir jam 12 malam lho! Nggak tidur?”

”Nanti. Aku masih tertarik dengan tugas-tugasku ini. Mendingan kamu tidur lagi. Sekali lagi maaf sudah mengganggu mimpi indahmu malam ini.”

”Iya, tidak apa-apa. Jangan tidur sampai larut malam ya! Besok kan sekolah masuk pagi.”

”Siap Nyonya!” jawabku sambil bercanda.


Entah mengapa malam itu aku begitu semangat untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Tapi, memang seharusnya begitu bukan? Aku sendiri yang memilih untuk melanjutkan sekolah di sini. Jauh dari kedua orang tua. Mencoba hidup mandiri di tanah rantau. Dan, kota pelajar menjadi pilihanku. Di sini, kugantungkan cita-citaku. Ayah, Bunda, adalah sumber semangatku. Aku telah berjanji di awal keputusanku untuk melanjutkan sekolah di sini. Untuk mereka, Ayah dan Bunda, aku pasti akan melakukan yang terbaik.

Beberapa jam duduk di depan laptop ternyata cukup membuat badanku pegal. Malam ini, memang malam yang melelahkan untukku. Tapi aku puas, berkat kerja kerasku semua tugas-tugasku terselesaikan. Jadi tak sabar menunggu esok hari, tampil di depan kelas mempresentasikan hasil karyaku.

Hari telah berganti. Dan pagi ini, aku terlambat bangun gara-gara semalam begadang hingga pukul 01:00. Aku memulai aktivitas hari ini dengan serba teburu-buru. Aku tak ingin terlambat ke sekolah dan gagal mempresentasikan hasil kerja kerasku semalam. Tapi, untunglah hal buruk itu tak terjadi padaku. Aku tiba di sekolah, lima menit sebelum bel berbunyi.

”Selamat pagi anak-anak,” sapa Bu Nani, guru Biologi.

”Pagi, Bu...!” jawab anak-anak kompak.

”Siap presentasi hari ini?”

”Siap, Bu...!”

Di antara 33 siswa kelas X2, sepertinya akulah yang paling antusias dalam menjawab. Sayangnya, aku harus sabar menunggu giliran. Karena nomor absenku termasuk di urutan belakang, 28. Satu per satu siswa mempresentasikan hasil kerja mereka. Semuanya bagus. Tapi, aku yakin bisa lebih baik dari mereka.

”Taza Perdani Putri!” kata Bu Nani menyebut namaku. Itu artinya, giliranku untuk mempresentasikan hasil kerja kerasku, tentang bab Penelitian Ilmiah. Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar. Tak terasa 33 siswa kelas X2 telah mempresentasikan hasil kerja mereka. Bu Nani pun langsung mengumumkan siswa yang memperoleh nilai terbaik.

”Baiklah anak-anak, Ibu akan mengumumkan siapa yang memperoleh nilai terbaik di kelas X2.”

Seketika, wajah seluruh siswa kelas X2 menjadi tegang, tak terkecuali aku. Mereka berharap nama mereka akan disebutkan. Siswa yang memperoleh nilai terbaik akan dipilih untuk mewakili sekolah dalam mengikuti kompetisi Karya Ilmiah Remaja tingkat Nasional. Dan....

”Selamat untuk, Taza Perdani Putri! Kamu memperoleh nilai terbaik di kelas ini,” kata Bu Nani.

Seluruh siswa kalas X2 pun bertepuk tangan, dan memberi selamat kepadaku. Aku sangat senang mendengar pengumuman ini. Ternyata hasil kerja kerasku membuahkan hasil yang memuaskan. Ingin rasanya segera memberi tahu kabar yang membanggakan ini kepada Ayah dan Bunda. Namun sayang, handphoneku tertinggal di kos-kosan. Dan, aku harus menunda niatku ini hingga bel pulang sekolah.

Tet...! Tet...! Tet...! Akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi. Tanpa berlama-lama, aku langsung keluar kelas dan menuju ke tempat kos-kosan.

”Gladys, aku duluan ya…!” kataku.

”Iya. Kamu kenapa Taza? Kok buru-buru gitu?” tanya Gladys.

”Aku mau menelpon Ayah dan Bundaku, tapi handphoneku tertinggal di tempat kos-kosan.”

”Gimana kalau kamu pakai handphoneku dulu?”

Nggak usah, Dis, terima kasih. Aku sekalian mau mengembalikan bukunya Della yang aku pinjam tadi pagi di kos-kosan.”

”Oh, ya sudah. Hati-hati ya!”

”Iya,” jawabku singkat.

Aku selalu merasa antusias setiap akan memberi kabar yang membanggakan kepada Ayah dan Bunda mengenai prestasiku di sekolah. Karena hal itu yang selalu mereka tunggu dariku di Jogja. Namun tidak untuk hari ini. Mungkin, bukan kabar yang menggembirakan yang akan mereka dengar dariku. Mobil sedan melaju kencang dari arah selatan.

BRAKK! Aku tak tahu apa yang menimpaku saat itu. Yang aku lihat, darah menetes dari jari-jari tangan kananku. Selanjutnya, entahlah, apa yang terjadi pada tubuhku ini. Semua menjadi gelap. Aku tak bisa melihat apapun yang ada di sekelilingku. Tapi aku masih sempat mendengar, ada seseorang yang menyebut namaku. ”Taza...!” Suaranya cukup familiar di telingaku. Namun, otakku sungguh tak sanggup untuk berfikir. Untuk mengingat, suara siapa yang memanggilku tadi. Ya Allah, tubuhku benar-benar tak berdaya saat itu.

***



”Sudah siuman, Nak?” tanya seorang laki-laki yang berdiri di sampingku.

”Maaf, Bapak siapa? Kenapa aku bisa ada di sini?” tanyaku bingung.

”Saya, Hendi. Tadi siang, mobil saya tidak sengaja menabrak kamu.”

Aw, tanganku...!”

”Jangan terlalu banyak bergerak, Nak! Kata dokter, kamu harus banyak istirahat. Kamu terluka cukup parah, sehingga tangan tanganmu harus di jahit beberapa jahitan oleh dokter .”

Ya Allah, bagaimana kalau Bunda tahu, aku di sini mengalami kecelakaan. Pasti beliau sangat khawatir. Aku tak ingin membuat beliau bersedih. Tapi, di sisi lain, aku juga ingin beliau ada di sini, menjagaku. Aku akan merasa lebih tenang jika beliau ada di sampingku.

”Orang tua kamu di mana, Nak? Apa perlu saya telpon mereka?” tanya Pak Hendi.

Em... nggak perlu, Pak! Orang tua saya ada di Kalimantan,” jawabku.

”Lantas, kamu di sini tinggal dengan siapa?”

”Saya ngekos sendiri, Pak.”

Untunglah, orang yang menabrakku tadi mau bertanggung jawab. Setidaknya, kekhawatiran Ayah dan Bunda bisa sedikit berkurang. Dari tadi siang, Pak Hendi masih menemaniku. Bahkan, dia juga menyuapiku saat makan malam. Aku yakin, beliau adalah suami dan ayah yang baik untuk isteri dan anak-anaknya.

”Selamat pagi...! Saya periksa dulu ya?” kata salah satu dokter.

”Pagi, juga, Dok! Em... kapan saya bisa pulang, Dok?” kataku.

”Jika kondisimu sudah membaik, besok kamu sudah boleh pulang.”

”Benar, Dok?”

”Iya, asalkan kamu rajin minum obat dan tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat.”

Senang rasanya mendengar kabar ini. Aku benar-benar sudah tidak betah berada di ruangan yang penuh dengan perlengkapan medis seperti ini. Infus di tangan kiriku, juga membuatku susah untuk bergerak. Pokoknya aku ingin segera pulang, walau terkadang di kos-kosan hanya sendirian.

”Siang... Taza!” sapa Gladys.

Hey, Gladys, siang juga!”

”Maaf, Taza, aku baru sempat menjengukmu sekarang.”

”Iya, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong kamu sendirian nih?

”Iya. Ini handphone kamu yang tertinggal kemarin. Sejak kamu mengalami kecelakaan, orang tuamu sudah berkali-kali menghubungimu, untuk menanyakan keadaan kamu. Tapi aku juga bingung harus jawab apa. Soalnya, aku pun belum mengetahui kondisimu yang sebenarnya.”

”Jadi, Ayah dan Bunda sudah mengetahui kalau aku mengalami kecelakaan?”

”Iya, Taza. Maaf, waktu itu saat aku mengetahui kamu ketabrak mobil, aku langsung panik. Apalagi ketika melihat kamu tidak sadarkan diri. Aku langsung menelpon Bunda kamu.”

”Kamu berada di tempat kejadian, to?”

”Iya, aku melihat kerumunan warga di pinggir jalan menuju kos-kosan. Aku juga sempat memanggil kamu, tapi kamu keburu digotong masuk ke dalam mobil dan dibawa ke rumah sakit.”

Seperti yang aku duga sebelumnya, orang tuaku sangat mengkhawatirkan kondisiku, terutama, Bunda. Mereka tahu bahwa aku terluka cukup parah. Sehingga, mereka berniat untuk datang ke Jogja, menjengukku.

Hallo, Assalamu'alaikum....

Wa'alaikumsalam. Taza, bagaimana kondisimu, Nak?”

Alhamdulillah, Taza baik, Bunda. Besok Taza sudah boleh pulang dari rumah sakit kok.”

”Syukurlah. Rencananya, besok Bunda dan Ayah mau pesan tiket pesawat untuk ke Jogja.”

Nggak usah Bun! Jarak Jogja dan Kalimantan kan cukup jauh, mendingan Bunda menjaga kakek saja di rumah. Taza nggak kenapa-kenapa kok!”

***



Akhirnya, hari ini tiba juga. Aku sudah boleh pulang! Aku dijemput Gladys di rumah sakit, dan diantar menggunakan mobil Pak Hendi menuju kos-kosan. Sepertinya ada yang berubah dengan kamarku selama aku tinggal tiga hari di rumah sakit. Ternyata teman-teman kos menyambut kedatanganku dengan kejutan.

”Selamat datang kembali, Taza!” kata mereka kompak.

Wow...! kalian yang membuat ini semua?” tanyaku terkejut.

Iya dong! Ini semua untuk kamu, Taza.”

Ternyata kamarku sudah dihias dengan penuh warna dan di tempel dengan poster-poster idolaku. Bu Eni, ibu kos, juga membuatkanku nasi kuning untuk syukuran kecil-kecilan. Aku benar-benar beruntung punya mereka di sini. Mereka semua sudah aku anggap seperti keluarga sendiri.

Hallo, Assalamu'alaikum....

Wa'alaikumsalam.... Bunda, sekarang Taza sudah tiba di kos-kosan.”

Alhamdulillah, kondisimu sudah membaik, Nak?”

”Sudah, Bun. Oh ya, Ayah dan Bunda nggak usah ke Jogja ya! Kasian kakek, nanti sendirian di rumah. ”

”Nanti kakek dijaga sama Acil Yuni. Bunda tetap harus melihat kondisimu di sana. Bunda khawatir dengan kamu, Sayang!”

”Taza nggak kenapa-kenapa, Bunda. Taza punya teman yang baik-baik di sini. Bu Eni juga sayang dengan Taza. Jadi, Bunda tidak perlu khawatir.”

”Luka di tangan kananmu cukup parah, dan itu akan membuat kamu sulit untuk beraktivitas seperti biasa.”

Aduh...!” Tiba-tiba tanganku terasa nyeri, sakit sekali. Tapi aku tidak ingin Bunda mengetahui kalau aku sedang merasa kesakitan. Aku tak ingin membuat beliau tambah khawatir.

”Kenapa, Nak? Ada yang sakit?”

”Tidak apa-apa, Bunda.”

”Taza, jangan bohong sama Bunda! Bunda tahu kamu di sana sedang menahan rasa sakit. Besok, Bunda dan Ayah akan tetap berangkat ke Jogja.”

Aku bingung bagaimana cara meyakinkan mereka. Jarak Jogja dan Kalimantan kan jauh. Aku sudah cukup banyak menyusahkan mereka. Aku tak ingin merepotkan mereka untuk kesekian kalinya.

”Bunda, Taza ingin menyanyikan sebuah lagu untuk Bunda dan Ayah.”

”Iya, Nak! Pasti akan Bunda dengarkan. Bunda juga kangen mendengar suara kamu saat bernyanyi.”

Bunda, senyumanmu perteguh mimpi-mimpiku

Ayah, suaramu pertegas perjuanganku

Anakmu bertarung menaklukan waktu

Mengejar cita-citaku

Jangan menangis Bunda tercinta

Anakmu baik di sini

Tak perlu khawatir Ayahku sayang

Doakan aku di sini

Ku akan melakukan yang terbaik

Semoga bahagia menantiku di ujung waktu.



Entah mengapa setelah menyanyikan lagu itu, aku merasa sedikit lebih lega. Lagu itu benar-benar mewakili perasaanku. ”Bunda, Ayah, Taza hanya ingin melakukan yang terbaik di sini. Taza janji akan berusaha untuk menggapai cita-cita Taza dengan usaha sendiri. Do’a Bunda dan Ayah adalah yang terpenting untuk Taza saat ini.”

”Baiklah sayang, jika itu memang keinginan kamu, kami akan mencoba mengerti. Walaupun sebenarnya kami sangat ingin melihat kondisimu di sana,” kata Ayah.

”Tapi ingat, sayang, selalu kasih kabar tentang kondisimu kepada kami ya!” tambah Bunda.

”Pasti, Bunda!”

Beruntung sekali aku mempunyai orang tua seperti mereka. Mereka selalu ada untukku. Sepertinya, tak ada hal yang lebih penting di dunia ini selain bisa membahagiakan mereka. Sejak kecil aku memang sangat dekat dengan Ayah dan Bunda. Aku pun sudah terbiasa di manja oleh mereka. Maklumlah aku adalah anak tunggal mereka. Jadi, wajar saja jika saat itu mereka sempat tak mengijinkanku untuk merantau ke kota ini. 


>>Selesai<<



0 komentar:

Posting Komentar